Hukum-hukum Yang Berkaitan Dengan Menyusui

Soal: Sebutkan ayat yang menyebutkan bahwa si anak berhak mendapat susuan dari orang tuanya?

Jawab:

Kewajiban menyusui anak tercantum dalam firman Allah Ta’ala:

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al Baqarah: 233)

Dan firman Allah Ta’ala:

“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS: Ath-Thalaaq:6)

Soal: Apakah menyusu langsung kepada ibu memiliki keistimewaan dibandingkan dengan menyusu kepada yang lainnya? Dan apakah keistimewaan tersebut?

Jawab:

Tidak diragukan lagi, apabila syariat telah mewajibkan seorang ibu untuk menyusui anaknya, pastilah dibalik itu terkandung hikmah dan manfaat yang banyak untuk si anak, baik diketahui ataupun tidak.

Ilmu kedokteran modern telah menetapkan berbagai keistimewaan dan manfaat seorang bayi yang menyusui dari air susu ibunya sendiri. (Diambil dari pembahasan di majalah Al Ummah edisi bulan Safar tahun 1405 Hijriyah yang berjudul: Kepedulian Islam terhadap makanan bayi oleh Dr. Faaruq Musahil)

Antara lain:

  1. Bayi menyusu air susu yang bersih dan steril.
  2. Tidak dingin dan tidak juga panas.
  3. Tersedia setiap saat, bahkan ASI akan memancar hanya dengan mendengar tangisan bayi, serta terus berproduksi selama si bayi menyusu.
  4. Tidak basi walaupun tersimpan lama.
  5. Sesuai dengan daya cerna sang bayi. Air susu ibu mengandung dua jenis protein yang sama kadarnya yaitu kasein dan albumen susu. Kedua zat ini cocok dan sesuai dengan kemampuan saluran pencernaan bayi. Adapun zat kasein dan albumen yang ada pada susu bubuk yang diproses dari air susu sapi hanya cocok untuk pencernaan bayi sapi.
  6. Mengandung zat makanan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sang bayi. Perbandingan kadar protein yang terkandung dalam ASI dan kadar protein pada susu sapi adalah 1:5. Oleh karena itu, kadar pertumbuhan anak-anak kita lebih rendah daripada kadar pertumbuhan anak sapi.
  7. ASI memberikan tambahan kekebalan tubuh untuk membasmi berbagai penyakit. Seperti kekebalan tubuh terhadap penyakit cacar. ASI juga memberikan kekebalan tubuh untuk mencegah berbagai penyakit, terutama penyakit yang menyerang pencernaan, seperti mencret, muntah, dan mencegah keringnya sel darah.
  8. ASI juga mencegah kegemukan pada sang bayi.
  9. Bayi yang menyusu langsung dari ibunya akan mempererat keterikatan batin antara si ibu dan bayinya.

Soal: Apakah seorang ibu wajib hukumnya untuk menyusui bayinya?

Jawab:

Para ulama sepakat bahwa seorang ibu wajib menyusui anaknya apabila bayinya tidak mau menyusu selain susu ibunya, atau si ayah tidak mampu untuk menyewa ibu susuan, atau si ayah mampu menyewa ibu susuan akan tetapi tidak ada yang mau menjadi ibu susu.

Dan para ulama berselisih pendapat jika kasus yang terjadi selain apa yang telah disebutkan di atas. Jumhur ulama berpendapat, jika kasusnya selain apa yang telah disebutkan di atas maka hukumnya tidak wajib. Mereka berdalilkan dengan Firman Allah Ta’ala:

“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS: Ath-Thalaaq:6)

Seandainya hal itu wajib bagi seorang ibu tentunya Allah Ta’ala telah membebankan kewajiban tersebut. Akan tetapi syariat hanya menganjurkan agar si ibu menyusui bayinya karena air susu ibu itu sangat baik untuk bayinya dan tentunya kasih sayang si ibu terhadap bayinya sendiri lebih dalam dibandingkan yang lainnya.

Sebagian ulama ada juga yang berpendapat bahwa si ibu tetap diwajibkan untuk menyusui anaknya berdasarkan zhahir Firman Allah Ta’ala:

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya…”

Redaksi ayat ini adalah redaksi berita akan tetapi mengandung makna perintah, artinya: hendaklah mereka menyusui anak-anak mereka. Pendapat ini merupakan pendapat yang dirajihkan oleh Ibnu Hazm Rahimahullah yang ia sebutkan dalam kitabnya Al-Muhalla. Adapun menurut kami, setiap ibu wajib untuk menyusui anak-anaknya, baik si ibu itu wanita yang merdeka yang masih berstatus sebagai istri suaminya maupun hamba sahaya yang berada di bawah kepemilikan tuannya atau wanita tersebut tidak berstatus sebagai istri ataupun hamba, baik si bayi dinisbatkan kepada laki-laki yang menghamili wanita tersebut ataupun tidak, maka si wanita tetap wajib untuk menyusui bayi yang ia lahirkan, baik suka ataupun tidak suka. Walaupun wanita tersebut adalah anak seorang khalifah, ia tetap dipaksa untuk menyusui bayi yang ia lahirkan. Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh.” (QS. Al-Baqarah: 233)

Ayat ini menunjukkan hukum umum dan tidak halal bagi seorangpun mengkhususkan hukum umum kecuali dengan dalil. Jika ia mengkhususkan hukum umum dengan tanpa dalil berarti ia telah berdusta atas nama Allah Ta’ala. Jika ada yang mengatakan bahwa syariat tidak pernah memerintahkan hal itu sehingga dikatakan wajib, kita katakan: alasan seperti ini lebih parah lagi, karena hal itu telah diberitakan Allah Ta’ala dan menyelisihi berita yang disebutkan Allah dalam Al-Qur’an berarti telah mendustakan berita tersebut. Ini adalah pendapat Ibnu Abi Laila, Al_Hasan bin Huyai, Abu Tsaur, Abu Sulaiman dan pendapat ulama yang semadzhab dengan kami. Hanya saja Malik terkadang berpendapat seperti pendapat kami dan terkadang ia berkata, “Wanita yang terhormat tidak boleh dipaksa untuk menyusui bayinya.” Ini adalah pendapat yang paling batil karena orang terhormat adalah orang yang bertakwa.

Ibnu Hazm juga berkata, “… wanita yang sudah dicerai oleh suaminya tidak wajib untuk menyusui bayinya kecuali jika ia lakukan dengan suka rela.” Lantas Ibnu Hazm berdalilkan dengan Firman Allah Ta’ala:

jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”

Ibnu Hazm menyimpulkan bahwa ayat yang dijadikan dalil oleh jumhur ulama adalah dalil khusus yang berkenaan dengan wanita yang sudah dicerai oleh suaminya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitabnya Majmuu’ Al-Fataawa (XXXIV/66), “Zhahir ayat menunjukkan bahwa seorang ibu wajib menyusukan anaknya berdasarkan isi ayat: yurdhi’na. Walaupun kata ini sifatnya berita namun mengandung makna perintah.”

Baca soal dan jawaban berikut yang dikutip dari kitab al-Fataawa As-Sa’diyah.

Soal: Apakah seorang ibu boleh dipaksa menyusui bayinya tanpa alasan darurat?

Jawab:

Pertanyaan ini dikutip secara harfiyah dari kitab al-Fataawa As-Sa’diyah. Syaikh menjawab, “Mazhab yang terkenal menyatakan bahwa si ibu tidak boleh dipaksa menyusui bayinya. Akan tetapi mazhab yang benar adalah si ibu dipaksa untuk menyusui bayinya sesuai dengan tradisi yang ada dalam suatu masyarakat, sebagaimana tradisi yang pernah berlaku pada zaman sahabat dulu dan yang berlaku di zaman sekarang. Semua hak suami dan istri disesuaikan dengan tradisi yang berlaku di masyarakat. Jika ada perbedaan, sebagian hendak menyelisihi kebiasaan yang berlaku antara suami dan istri dan yang lain ingin melaksanakan kebiasaan tersebut maka yang dipilih adalah melaksanakan kebiasaan tersebut sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya Shallallahu Alaihi Wasallam. Termasuk dalam hal ini adalah persusuan (menyusui), masalah ini dikembalikan kepada kaidah syariat di atas (tradisi). Sebagaimana hal ini merupakan syariat, ia adalah masalah yang dipandang baik oleh manusia dan menilai kebalikannya sebagai sesuatu yang buruk. Allahu A’lam.

Soal: Apabila seorang ibu dengan suka rela menyusui bayinya atau menyusuinya karena dipaksa secara hukum, apakah ia juga berhak mendapatkan upah untuk penyusuan tersebut?

Jawab:

Dalam masalah ini ada perincian, sebagai berikut:

  1. Apabila si ibu masih berstatus sebagai istri ayah si bayi atau sedang menghabiskan masa ‘iddah dari talak raj’i maka ia tidak berhak untuk mendapatkan upah menyusui dari ayah si bayi. Sebab si ayah masih bertanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada ibu si bayi. Dengan begitu, suami tidak terbebani dua kewajiban sekaligus, yaitu memberi nafkah sekaligus upah menyusui pada waktu bersamaan. Dalam pandangan syariat hal ini tidak diperkenankan, sebab nafkah wajib sudah mencukupi semua itu.
  2. Apabila si ibu tidak lagi berstatus sebagai istri ayah si bayi atau sedang menjalani masa iddah karena suaminya telah meninggal dunia, maka menurut kesepakatan para ulama: si ibu berhak mendapatkan upah untuk susuan tersebut. Hal ini beradasarkan Firman Allah Ta’ala:

“jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.”

Ayat ini ditujukan kepada wanita yang telah dicerai oleh suaminya. Sebab setelah seorang wanita dicerai atau ia yang sedang menjalani masa ‘iddah karena wafatnya suami maka ia tidak berhak untuk mendapatkan nafkah.

  1. Menurut pendapat yang kuat dan pendapat sebahagian ulama yang bermadzhab hanafi serta madzhab Maliki, seorang wanita yang sedang menjalani masa iddah dari talak yang ketiga maka ia sudah berhak untuk mendapatkan upah atas susuan yang ia berikan kepada bayi mantan suaminya. Sebab saat itu statusnya sudah menjadi orang lain. Hal ini berdasarkan Firman Allah Ta’ala:

“jika mereka menyusukan (anak-anal0 mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.”

Ayat ini menunjukkan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan untuk memberikan upah susuan yang dilakukan oleh wanita yang sudah dii ditalak tiga walaupun wanita tersebut dalam keadaan hamil.

Akan tetapi ia juga berhak untuk mendapatkan nafkah. Kewajiban memberikan nafkah dan membayar upah susuan, masing-masing membutuhkan dalil khusus. Akan tetapi dengan adanya kewajiban salah satunya tidak berarti akan menghalangi kewajiban yang lain.

Sebagian ulama  Hanafi berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara ‘iddah talak raj’i dan ‘iddah talak ba’in. Dengan demikian, seorang ibu yang sedang menjalani masa ‘iddah tersebut tidak lagi berhak mendapatkan upah susuan karena secara mutlak mereka masih berhak untuk mendapatkan nafkah. Demikian peraturan yang masih berlaku dalam sistem peradilan di Mesir. Pendapat ini disebutkan oleh Syaikh Az-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami (7277-7278).

Pernyataan: …walaupun wanita tersebut dalam keadaan hamil, ia tetap berhak menerima nafkah… pendapat ini masih perlu ditinjau ulang, sebab wanita yang sudah menerima talak tiga tidak lagi berhak menerima nafkah dan tempat tinggal sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Fathimah binti Qais yang diriwayatkan oleh Muslim. Kecuali jika dikatakan bahwa Al-Qurthubi Rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang wajibnya memberikan nafkah kepada wanita hamil yang sudah mendapatkan talak pertama, kedua dan ketiga hingga ia melahirkan bayi yang ia kandung.

Menurut saya: nafkah di sini dikarenakan janin yang ada di dalam kandungannya, bukan karena talak. Pendapat Al-Qurthubi di atas menguatkan pendapat yang tidak membedakan antara ‘iddah talak raj’i dan ‘iddah talak ba’in (talak tiga). Allahu A’lam

Soal: Apakah makna firman Allah Ta’ala:

“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (Ath-Thalaq: 6)

Jawab:

Hukum ini dibangun di atas permulaan ayat, yaitu firman Allah Ta’ala:

Jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.”

Yaitu apabila mereka ditalak maka berakhirlah masa iddah mereka setelah mereka melahirkan bayi yang ada di dalam kandungan mereka dan suami tidak dapat rujuk kembali kecuali setelah melakukan akad yang baru. Setelah melahirkan, si ibu boleh menyusui bayi tersebut dan boleh juga tidak. Akan tetapi tentunya setelah si bayi menyusu air susu yang pertama kali memancar di mana air susu ini sangat dibutuhkan oleh si bayi. Setelah itu, jika ia menyusui bayi tersebut maka ia berhak menerima upahnya dan ia juga boleh melakukan akad dengan ayah atau wali si bayi untuk menentukan jumlah upah yang mereka sepakati. Jika mereka tidak sepakat dalam menentukan upahnya, seperti si wanita meminta upah terlalu tinggi atau upah yang ditentukan si ayah bayi terlalu rendah maka si bayi boleh disusui oleh wanita lain. Seandainya ibu si bayi setuju dengan upah yang diberikan kepada wanita susuan lain maka ibu si bayi lebih berhak untuk menyusuinya. Demikian yang disebut oleh Ibnu Katsir Rahimahullah dalam tafsirnya.

Ibnu Hazm berkata, “jika ibu si bayi meminta upah di atas upah standar, sementara ayah si bayi hanya setuju dengan harga standar, inilah yang disebut dengan ta’aasur (kesulitan). Dengan demikian ayah si bayi boleh mencari wanita lain yang mau menyusui dengan upah standar, atau di bawah upah standar, atau mungkin juga ia menemukan wanita yang secara suka rela mau menyusui anaknya.

Soal: Sebutkan makna firman Allah Ta’ala:

“Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya.” (Al Baqarah: 233)

Jawab:

Makna ayat di atas sebagaimana yang disebutkan oleh Al Qurthubi Rahimahullah, “Si ibu enggan untuk menyusui anaknya dengan maksud ingin menyengsarakan ayah si bayi, atau ia meminta upah susuan yang terlalu tinggi. Si ayah pun tidak boleh melarang ibu si bayi yang ingin menyusui bayinya. Demikianlah menurut pendapat jumhur ulama tafsir.

Ath-Thabari meriwayatkan dengan sanad yang hasan dari Qatadah, ia berkata: “Allah telah melarang seseorang menyengsarakan orang lain (dhirar) dan memulai kalimat larangan tersebut dengan kata laa tudhaarra. Yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang si ayah memisahkan si ibu dari bayinya, jika si ibu setuu menerima upah seperti jumlah yang diberikan kepada wanita susuan yang lain. Si ibu juga dilarang membiarkan si bayi mereka dengan ayahnya dengan niat untuk menyengsarakan mereka.”

Ath-Thabari juga meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Zaid, ia berkata: “Janganlah kamu pisahkan antara si ibu dengan bayinya di saat si ibu ingin menyusui anaknya, karena hal itu dapat menyengsarakan sang ibu. Dan si ibu juga jangan membiarkan si bayi bersama ayah, padahal si ayah tidak menemukan wanita kain yang mau menyusui bayinya. Allahu a’lam

Dinukil dari kitab Ittihaafu Ulil Albaab Bihuquuqu ath-Thifli wa Ahkaamihi fi Su-aali wa Jawaab, Abu Abdillah bin Ahmad Al Isawi, Edisi Indonesia: Ensiklopedi Anak, Tanya Jawab Tentang Anak dari A sampai Z, Penerbit Darus Sunnah, hal. 285-292, Penerjemah Ustadz Ali Nur.

Satu respons untuk “Hukum-hukum Yang Berkaitan Dengan Menyusui

Tinggalkan komentar