Na’at Man’ut

الحمد لله الحميد

I’rab sifat[1], harus mengikuti mausufnya. Jadi dalam contoh kasus di atas, seharusnya kata “al hamiid” mengikuti I’rab mausufnya yaitu “allahi”. Tetapi ternyata tidak demikian, “al hamiid” boleh saja marfu’, atau manshub. Seperti yagn disebutkan oleh Ibnu Hisyam Rahimahullah dalam “Syarh Qathrunnada”. Beliau mengatakan:[2]

إذا كان الموصوف معلوما بدون الصفة جاز لك في الصفة الإتباع والقطع

Jika mausufnya sudah maklum, dikenal, tanpa menyebutkan sifatnya, anda boleh menghukumi sifat seperti mausufnya atau tidak.

Contohnya seperti kalimat di atas, menurut Sibawaih boleh memajrurkan “al hamiid” karena mengikuti I’rab mausuf, boleh nashab dengan menakdirkan fiil “amdahu”, dan boleh marfu’ dengan menakdirkan “huwa”. Dan Sibawaih menyatakan bahwa beliau mendengar sebagian orang Arab berkata:


الحمد لله ربَّ العالمين

Dengan “Rabba” (nashab), aku kemudian bertanya kepada Yunus bin Habib adh-Dhibbi, maka dia menganggap hal itu merupakan salah satu lughah Arab. Selesai kutipan

Contoh lain:

وامرأته حمالة الحطب

Jumhur membaca dengan rafa’, sedangkan ‘Ashim membaca dengan nashab karena dia menakdirkan adanya fiil yang mahdzuf takdirnya أذم.

Contoh lain:

مررت بزيد المسكينُ


تقديره هو المسكينُ

مررت بزيد التاجرَ

تقديره أعني التاجرَ

Wallahu a’lam


[1] Sifat/na’at harus mengikuti mausuf atau man’utnya dalam hal I’rabnya, ma’rifah atau nakirahnya, mudzakkar atau mu-annatsnya, dan mufrad, mutsanna, atau jamaknya.

[2] Hal. 386

Tinggalkan komentar